Kasus kepala sekolah yang menampar siswa karena merokok di lingkungan sekolah belakangan ini menjadi perbincangan publik. Banyak yang memandang tindakan kepala sekolah tersebut sebagai kekerasan, namun ada pula yang menilai itu sebagai bentuk ketegasan dalam menegakkan disiplin di lingkungan pendidikan.
Jika dilihat dari sisi hukum, siswa jelas melakukan
pelanggaran. Berdasarkan UU Nomor 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan dan Permendikbud
Nomor 64 Tahun 2015, sekolah termasuk kawasan tanpa rokok. Artinya, siswa yang merokok di
lingkungan sekolah telah melanggar aturan yang berlaku.
Namun, di sisi lain, menampar siswa tetap tidak
dapat dibenarkan karena termasuk tindakan kekerasan fisik. Dalam UU Perlindungan Anak, dijelaskan bahwa
setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari kekerasan, termasuk dalam
konteks pendidikan. Maka, walaupun niat kepala sekolah baik, cara yang
digunakan tidak sesuai dengan prinsip pendidikan yang humanis.
Sikap orang tua yang langsung melapor ke pihak
berwajib tanpa mencari penyelesaian kekeluargaan juga memperkeruh keadaan.
Orang tua seharusnya memahami bahwa anak mereka telah melanggar aturan sekolah,
dan mendukung pihak sekolah dalam memberikan pembinaan yang tepat.
Sementara itu, pemerintah daerah seharusnya
bersikap bijak dan adil. Menonaktifkan kepala sekolah sebelum hasil investigasi
keluar justru menimbulkan kesan bahwa guru tidak dilindungi dalam menjalankan
tugasnya. Padahal, dalam Permendikbud
Nomor 10 Tahun 2017, guru dan kepala sekolah berhak mendapat
perlindungan hukum ketika menjalankan tugas pendidikan dan pembinaan disiplin.
Kasus ini menjadi pelajaran penting bahwa
pendidikan bukan hanya soal pengetahuan, tetapi juga pembentukan karakter. Guru
harus menegakkan disiplin tanpa kekerasan, sementara siswa dan orang tua harus
menghormati aturan sekolah. Pemerintah pun wajib menjadi penengah yang adil
agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
Jika situasi seperti ini terus berulang—di mana
guru kehilangan wibawa dan aturan sekolah tunduk pada tekanan masyarakat—maka
cita-cita besar mewujudkan Generasi Emas
2045 akan semakin sulit dicapai. Generasi emas yang diharapkan tidak
hanya cerdas secara akademik, tetapi juga berkarakter, berdisiplin, dan
memiliki rasa hormat terhadap otoritas dan nilai moral.
Bagaimana mungkin generasi emas terwujud jika
sekolah tidak lagi memiliki kewibawaan dalam menanamkan nilai-nilai dasar
tersebut? Pendidikan akan kehilangan makna jika guru takut menegur, dan siswa
akan kehilangan arah jika disiplin dianggap tidak penting.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar