"Marhaposan tu Jahowa ma ho sian nasa roham, jala unang marpangunsandean ho tu pingkiranmu sandiri"."Trust in the LORD with all your heart, and do not lean on your own understanding". (Amsal 3:5)

Rabu, 15 Oktober 2025

KETIKA SUARA ORANG TUA LEBIH NYARING DARI NILAI PENDIDIKAN : T.M. NABABAN, S.Pd.,M.Pd





Kasus kepala sekolah yang menampar siswa karena merokok di lingkungan sekolah belakangan ini menjadi perbincangan publik. Banyak yang memandang tindakan kepala sekolah tersebut sebagai kekerasan, namun ada pula yang menilai itu sebagai bentuk ketegasan dalam menegakkan disiplin di lingkungan pendidikan.

Jika dilihat dari sisi hukum, siswa jelas melakukan pelanggaran. Berdasarkan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Permendikbud Nomor 64 Tahun 2015, sekolah termasuk kawasan tanpa rokok. Artinya, siswa yang merokok di lingkungan sekolah telah melanggar aturan yang berlaku.

Namun, di sisi lain, menampar siswa tetap tidak dapat dibenarkan karena termasuk tindakan kekerasan fisik. Dalam UU Perlindungan Anak, dijelaskan bahwa setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari kekerasan, termasuk dalam konteks pendidikan. Maka, walaupun niat kepala sekolah baik, cara yang digunakan tidak sesuai dengan prinsip pendidikan yang humanis.

Sikap orang tua yang langsung melapor ke pihak berwajib tanpa mencari penyelesaian kekeluargaan juga memperkeruh keadaan. Orang tua seharusnya memahami bahwa anak mereka telah melanggar aturan sekolah, dan mendukung pihak sekolah dalam memberikan pembinaan yang tepat.

Sementara itu, pemerintah daerah seharusnya bersikap bijak dan adil. Menonaktifkan kepala sekolah sebelum hasil investigasi keluar justru menimbulkan kesan bahwa guru tidak dilindungi dalam menjalankan tugasnya. Padahal, dalam Permendikbud Nomor 10 Tahun 2017, guru dan kepala sekolah berhak mendapat perlindungan hukum ketika menjalankan tugas pendidikan dan pembinaan disiplin.

Kasus ini menjadi pelajaran penting bahwa pendidikan bukan hanya soal pengetahuan, tetapi juga pembentukan karakter. Guru harus menegakkan disiplin tanpa kekerasan, sementara siswa dan orang tua harus menghormati aturan sekolah. Pemerintah pun wajib menjadi penengah yang adil agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan.

Jika situasi seperti ini terus berulang—di mana guru kehilangan wibawa dan aturan sekolah tunduk pada tekanan masyarakat—maka cita-cita besar mewujudkan Generasi Emas 2045 akan semakin sulit dicapai. Generasi emas yang diharapkan tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga berkarakter, berdisiplin, dan memiliki rasa hormat terhadap otoritas dan nilai moral.

Bagaimana mungkin generasi emas terwujud jika sekolah tidak lagi memiliki kewibawaan dalam menanamkan nilai-nilai dasar tersebut? Pendidikan akan kehilangan makna jika guru takut menegur, dan siswa akan kehilangan arah jika disiplin dianggap tidak penting.

Maka, memperkuat marwah pendidikan berarti mengembalikan keseimbangan antara hak dan kewajiban: siswa dilindungi dari kekerasan, tetapi guru juga dilindungi dalam mendidik. Hanya dengan cara itulah, Generasi Emas 2045 dapat lahir dari sistem pendidikan yang berwibawa, berkarakter, dan bermartabat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar